Kitabah K.H Husein Muhammad Tentang Kesetaraan Gender


Dewi Amaliyah(1*), Aep Wahyudin(2), Enok Risdayah(3)

(1) UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  
(2) UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  
(3) UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  
(*) Corresponding Author

Abstract


This research aims to determine the concept and perspective of Husein Muhammad's book on gender equality in the Islamic Book, Women-Friendly Religion and the views of gender equality according to Husein Muhammad. The research method used is a qualitative descriptive method with a feminist approach. This research uses library research or library study of main research data. The results of this research show that in the struggle for gender equality, Husein Muhammad's thinking is based on anti-patriarchal monotheism, which means no glorification of other creatures except the Creator. He also started from thinking in terms of respect for human rights (HAM). The thing that is the basis of human rights is also the core of Islamic teachings itself, namely equality. Equality confirms that the position of humans (women and men) as God's creatures is the same before Him

Full Text:

PDF

References


Kitabah KH. Husein Muhammad Tentang Kesetaraan Gender

Dewi Amaliyah1, Aep Wahyudin1, Enok Risdayah2

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung

Jurusan Hubungan Masyarakat, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung

*Email : dewiamaliyah2001@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep kitabah dan pandangan kesetaraan gender Husein Muhammad pada Buku Islam Agama Ramah Perempuan dan pandangan kesetaraan gender menurut Husein Muhammad. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan feminism. Penelitian ini menggunakan library research atau studi kepustakaan data utama penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan gender dalam pemikiran Husein Muhammad berlandaskan tauhid anti patriarki yang berarti tiada pengagungan kepada makhluk lain kecuali terhadap sang pencipta. Beliau juga berangkat dari pemikiran dalam hal penghargaan hak asasi manusia (HAM). Hal yang menjadi dasar hak asasi manusia sekaligus sebagai inti ajaran Islam itu sendiri, yakni kesetaraan. Kesetaraan menegaskan bahwa kedudukan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai makhluk Tuhan adalah sama dihadapan-Nya

Kata Kunci : Kesetaraan Gender; Hak Asasi Manusia; KH. Husein Muhammad

ABSTRACT

This research aims to determine the concept and perspective of Husein Muhammad's book on gender equality in the Islamic Book, Women-Friendly Religion and the views of gender equality according to Husein Muhammad. The research method used is a qualitative descriptive method with a feminist approach. This research uses library research or library study of main research data. The results of this research show that in the struggle for gender equality, Husein Muhammad's thinking is based on anti-patriarchal monotheism, which means no glorification of other creatures except the Creator. He also started from thinking in terms of respect for human rights (HAM). The thing that is the basis of human rights is also the core of Islamic teachings itself, namely equality. Equality confirms that the position of humans (women and men) as God's creatures is the same before Him

Keywords : Gender Equality; Human Rights; and KH. Husein Muhammad

PENDAHULUAN

Buku Islam Agama Ramah Perempuan karya Husein Muhammad merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diproduksi oleh Husein Muhammad dalam kurun waktu beberapa tahun. Secara garis besar buku ini menjelaskan gagasan Husein Muhammad mengenai (salah satu) akar permasalahan yang membuat perempuan menderita dengan segala bentuk ketimpangan gender dalam masyarakat islam, khususnya di Indonesia. Husein Muhammad dalam hal ini menjelaskan relasi antara tauhid, agama, syariah, fiqh, dan fiqh perempuan. Ia bertolak dari realitas bahwa pesan-pesan tauhid yang terkandung dalam Al-Qur’an tidaklah diturunkan dalam keadaan hampa budaya. Wahyu Allah SWT diturunkan dalam sebuah kebudayaan yang sangat berbeda dengan tafsiran kontemporer, sehingga para mufassir terdahulu memaknai ayat Al-Qur’an maupun hadits masih sesuai dengan zaman dahulu yang di zaman sekarang perlu untuk ditafsirkan

Buku Islam Agama Ramah Perempuan juga merupakan bukti nyata bahwa Islam sangat memberikan hak dan kebebasan bagi perempuan untuk memilih jalan hidupnya berkiprah di ruang domestik maupun publik. Tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk menyebarkan kebermanfaatan di muka bumi, serta tidak adanya larangan yang membatasi gerak perempuan untuk bisa menjadi apa yang mereka inginkan sebagai sama-sama khalifa fil ardh.

Husein Muhammad adalah seorang ulama yang dihormati dan dikenal karena karyanya yang mendukung pemahaman Islam yang inklusif dan ramah perempuan. Salah satu karya tulis beliau yang relevan adalah buku Islam Agama Ramah Perempuan yang membahas isu-isu kesetaraan gender dalam konteks Islam. Buku ini dapat menjadi sumber informasi dan panduan bagi umat muslim yang tertarik dengan isu-isu kesetaraan gender.

Penguasaan yang dalam tentang ilmu-ilmu keislaman klasik dan pengalaman dalam melakukan pendampingan di masyarakat merupakan bekal penting yang menjadi “senjata” Husein Muhammad. Oleh karena itu, bisa dikatakan Husein Muhammad melakukan perombakan dari dalam, merombak pemahaman dengan ilmu yang setara. Memahami Islam dengan seperti yang dilakukan oleh Husein Muhammad ini kiranya dapat membuka kembali harapan hidup yang lebih baik khususnya bagi kaum perempuan dengan keislamannya, inilah Rahmatan Lil alamin yang sesungguhnya.

Kesetaraan gender pada agama Islam sendiri mengalami banyak perubahan. Di agama Islam sendiri, masyarakat masih menganggap bahwa agama Islam mengajarkan ketidaksetaraan terhadap perempuan dan laki-laki sehingga mengakibatkan ketimpangan gender yang semakin marak di masyarakat. Sebagai contoh, pada zaman jahiliyah perempuan diperlakukan amat keji dengan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib yang membuat mereka malu. Contoh lain, perempuan di zaman dulu tidak mendapatkan hak waris, lalu islam datang untuk menyelamatkan nasib perempuan melalui Rasulullah SAW.

Perempuan saat ini berperan sangat besar baik secara individu, istri, ibu, serta warga negara yang turut serta dalam pembangunan Indonesia, bahkan dunia. Peran perempuan menjadi kunci kekuatan bangsa, yang mana selain perempuan berperan sebagai tokoh yang berperan kuat dalam keluarga, perempuan juga dapat terlibat dalam berbagai sektor yang ada, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, geografi dan lain-lain (PPA, 2021).

Ketimpangan gender yang terjadi di tatanan masyarakat pun beragam. Mulai dari marginalisasi gender, yakni peminggiran dari akses sumber daya atau pemiskinan yang dialami seseorang akibat ia perempuan. Lalu subordinasi, yakni kondisi mutlak yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Kemudian stigmatisasi, berarti penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang seringkali merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Lalu ada kekerasan yang terjadi ketika ada perlakuan kasar atau tindakan yang berasal dari sumber kekerasan. Dan yang terakhir beban ganda, yaitu pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak daripada jenis kelamin tertentu.

Islam sangat tegas membawa prinsip rahmatan lil’alamin, kebaikan untuk semua alam semesta, termasuk kebaikan untuk perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, Islam menentang keras segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan terhadap sesama. Dan sesungguhnya ajaran Islam adalah ajaran yang sangat memuliakan perempuan, agar perempuan bisa merasakan hak dan posisinya untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar realitas inilah yang kemudian mendorong sebagian intelektual Islam untuk menafsirkan kembali teks- teks religius untuk merevitalisasi nilai-nilai moral yang mengafirmasi kesetaraan manusia, yang bisa dijadikan basis teologi praktis dalam membebaskan perempuan dari berbagai diskriminasi tersebut.

Adapun studi yang relevan pada penelitian ini yaitu oleh Liga Agustiningsih pada tahun 2020 yang berjudul “Kesetaraan Gender: Studi Perbandingan Pemikiran Aminah Wadud Muhsin dan Fatima Mernissi”. Penelitian ini merupakan komparasi pemikiran kesetaraan gender Aminah Wadud dan Fatima Mernissi. Persamaan penelitian ini terletak pada isu gender yang menjadi objek penelitian dan sama-sama menggunakan metode library research sebagai sumber data penelitiannya. Sedangkan perbedaan dalam skripsi ini menggunakan perbandingan pemikiran dua tokoh, sedangkan peneliti menggunakan satu pemikiran tokoh saja.

Selanjutnya penelitian yang ditulis dalam skripsi Ratna Ariani Putri (2020) “Kesetaraan Gender dalam Film Hanum dan Rangga: Faith and the City Menurut Perspektif Islam”. Penelitian ini mengungkap bagaimana Islam memandang perempuan dan laki-laki sama dalam sebuah film dan apakah sesuai dengan ajaran islam, kesimpulannya ialah bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki sudah sesuai dengan ajaran islam. Persamaan penelitian ini terletak pada metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kajian gender sebagai objek kajiannya. Sedangkan letak perbedaannya terletak pada penelitian ini menggunakan analisis isi, dan peneliti menggunakan teori fenomenologi.

Kemudian penelitian yang oleh Muzayanah (2020) dengan judul “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam Menurut KH. Husein Muhammad”. Pada penelitian ini menurut KH. Husein Muhammad, laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk belajar serta setara dalam menikmati hasil pendidikan. Perbedaan penelitian ini secara objek kajian dari segi pendidikan saja. Sedangkan letak persamaannya terletak pada sama-sama menggunakan metode library research.

Berdasarkan keunikan yang telah dipaparkan, peneliti mengangkat isu kesetaraan gender dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan kedalam penelitian dengan rumusan masalah (1) Bagaimana konsep kitabah kesetaraan gender yang ditawarkan Husein Muhammad? dan (2) Bagaimana kesetaraan gender menurut Husein Muhammad?

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan feminism. Penelitian ini menggunakan library research atau studi kepustakaan sebagai data utama penelitian, dengan wawancara penulis buku sebagai metode pendukung untuk mendapatkan data, sehingga data yang diperoleh merupakan hasil yang relevan dengan penelitian ini.

LANDASAN TEORITIS

Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah Teori Gender, Islam Agama Ramah Perempuan, dan Kitabah dalam Dakwah. Gender secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang memiliki arti “jenis kelamin”. Gender di Perancis populer dengan kata “Genre”, dalam Bahasa Spanyol “Genero” yang berarti jenis, rasa atau kelas dan “Generale” bahasa latin yang memiliki arti rasa tau jenis (Adinugraha, 2018).

Istilah gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud dalam Syamsiah (2014). Dalam jurnal Marwah disebutkan istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller, ia memisahkan ciri manusia yang didasarkan pada sosial budaya dengan pendefinisian ciri-ciri fisik biologis.

Dalam ilmu sosial, seorang penulis sekaligus sosiolog Ann Oakley cukup berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender. Dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender and Society ia mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang melekat pada manusia melalui pembentukan yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Adinugraha, dkk 2018: 44).

Pada dasarnya, seks dan gender mengandung makna yang berbeda. Seks mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis dan fisiologis serta secara anatomis dan reproduksi. Sedangkan gender mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan secara sosial budaya. Nasarudin Umar mengartikan gender sebagai suatu konsep kultural yang digunakan untuk memberikan identifikasi perbedaan dalam hal peran yang berkembang dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa (Umar, 2001: 35).

Maksudnya adalah jika seks mengacu pada hal yang tidak bisa diubah oleh manusia, sedangkan gender justru dibentuk oleh masyarakat. Sebagai contoh, laki-laki memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat menyusui, memiliki rahim dan saluran melahirkan. Gender justru dikonstruksi oleh masyarakat sendiri, seperti: laki-laki harus kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sedangkan hal-hal yang melekat pada perempuan diantaranya ialah: cantik, emosional, lembut dan keibuan. Padahal ada juga laki-laki yang lemah lembut, keibuan dan emosional, begitupun dengan perempuan yang kuat, rasional dan perkasa (Fakih, 2013: 8).

Islam tidak mengenal istilah feminisme dan gender dengan berbagai bentuk konsep dan implementasinya dalam melakukan gugatan atas nilai-nilai subordinasi kaum perempuan, karena dalam Islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam Islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama (Fakih, 1996: 4).

Kesetaraan gender adalah kesejajaran kondisi laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan kesempatan dan menikmati haknya sebagai manusia. Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi hak dan derajat manusia tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, Allah SWT hanya membedakan laki-laki berdasarkan tingkat ketakwaannya semata. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menjelaskan kesetaraan, diantaranya ialah: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13).

Perempuan pada hakikatnya memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam. (Juwita, 2018: 186), mereka merupakan makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT, dengan segala kelebihannya. Antara pria dan wanita, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi. Perbedaannya ada pada fungsi dan tugas yang dibebankan kepada masing-masing dari mereka. Hanya saja, ada beberapa orang yang masih menjadikan hal ini sebagai salah satu bentuk diskriminasi.

Dalam suatu ayat Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An-Nisa [4] : 32).

Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa Islam tidak membeda- bedakan antara laki-laki dan perempuan. Semua memiliki kewajiban yang sama, hanya saja, dalam proses menjalankannya saja yang sedikit berbeda. Islam sendiri mengajarkan betapa pentingnya sebuah keadilan. Namun, keadilan yang dimaksud bukan berarti sama, melainkan adil dalam porsinya masing-masing. Wanita merupakan makhluk yang mulia. Di dalam Islam sendiri, Islam tidak pernah membeda-bedakan antara wanita dan pria. Mereka memiliki derajat yang sama serta hak dan kewajiban masing-masing. Seorang pria layaknya seorang wanita juga sama memiliki hukum dan batasan-batasan dalam menjalankan sesuatu (Mubarokah, 2021: 30).

Berikut adalah lima prinsip kesetaraan gender dalam Islam, (1) Tauhid anti patriarki, (2) Ketakwaan, (3) Beribadah, (4) Khalifah di muka bumi, dan (5) Hamba Tuhan. Paparan prinsip kesetaraan gender yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an tersebut, dipahami bahwasannya Islam merupakan agama yang sangat toleran, dan Allah begitu memuliakan hamba-Nya yang bertakwa.

Pengaruh Islam sebagai agama yang ramah terhadap perempuan dapat memiliki dampak positif yang signifikan, baik pada individu perempuan maupun masyarakat secara keseluruhan. Berikut adalah pengaruhnya (1) perlindungan hak-hak perempuan, (2) peningkatan pendidikan perempuan, (3) peran aktif dalam masyarakat, (4) penekanan pada keadilan dan kesetaraan, dan (5) pengembangan spiritualitas dan nilai-nilai moral (Darajat, 1996).

Kitabah dalam dakwah adalah kegiatan menulis atau mencatat yang dilakukan oleh da’i sebagai upaya menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Dalam konteks dakwah, kitabah sangat penting karena dapat memperluas jangkauan pesan-pesan agama dan menjaga kesinambungan pengetahuan. Dalam konteks ini, kitabah adalah upaya mendokumentasikan dan menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada khalayak luas. Adapun fungsi kitabah diantaranya ialah: (1) mencatat perkembangan ilmu pengetahuan agama dan (2) menyebarkan ajaran Islam secara luas (Zaenuri, 2013).

Dalam konsep kitabah (penulisan) dapat meliputi beberapa poin, tergantung pada tujuan dan strategi dakwah yang digunakan. Berikut ini adalah beberapa poin yang tercakup dalam kitabah dalam dakwah: (1) Identifikasi dan analisis permasalahan, (2) tujuan dakwah, (3) pemilihan tema dan isu, (4) penyampaian ajaran agama, (5) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, (6) pendekatan rasional dan emosional, (7) solusi dan tindakan konkret, (8) penggunaan sumber yang terpercaya, dan (8) menghindari kontroversi dan pemecah belah (AS, 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada Buku Islam Agama Ramah Perempuan karya KH. Husein Muhammad. Buku ini adalah sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit IRCiSoD (Diva Press) Yogyakarta pada tahun 2021. Buku ini berisi 396 halaman yang di dalamnya terbagi 4 bagian, yang setiap bab nya saling mendukung gagasan utama buku tersebut. Yaitu, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memberikan penghormatan tinggi kepada kaum perempuan.

Husein Muhammad sekarang sebagai pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Al-Fikri yang berada di Arjawinangun, Cirebon. Husein Muhammad adalah seorang ulama yang dihormati dan dikenal karena karyanya yang mendukung pemahaman Islam yang inklusif dan ramah perempuan. Salah satu karya tulis beliau yang relevan adalah buku Islam Agama Ramah Perempuan yang membahas isu-isu kesetaraan gender dalam konteks Islam. Buku ini dapat menjadi sumber informasi dan panduan bagi umat muslim yang tertarik dengan isu-isu kesetaraan gender.

Buku "Islam Agama Ramah Perempuan" menyajikan materi-materi yang menguraikan argumen-argumen dari al-Qur'an dan al-Hadits yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memberikan penghormatan yang tinggi kepada kaum perempuan. Selain itu, buku ini juga melakukan analisis kritis terhadap isu-isu perempuan dalam konteks kesetaraan dan keadilan gender.

Konsep Kitabah Kesetaraan Gender Buku Islam Agama Ramah Perempuan

Buku ini merupakan kumpulan hasil tulisan Husein Muhammad dalam kurun waktu beberapa tahun. Beberapa hasil karyanya pernah dipublikasikan dalam bentuk makalah untuk sejumlah seminar di mana Husein sendiri menjadi kontributornya. Beberapa tulisan lain sama sekali belum pernah diterbitkan, bahkan khusus ditulis hanya untuk buku Islam Agama Ramah Perempuan.

Menurut Aep Kusnawan dakwah merupakan kewajiban dan kebutuhan umat manusia, dakwah juga menjadi pembersih hati agar hati setiap insan senantiasa bersinar menyinari pikiran, sikap dan perilaku pemiliknya. Jika hati, pikiran dan sikap, serta perbuatan setiap manusia baik, kehidupan sosial manusia pun akan baik, sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diamanahkan ajaran Islam (Kusnawan, 2016 : 7).

Dalam prosesnya dakwah memiliki dua pendekatan, yakni pendekatan dakwah kultural dan pendekatan dakwah struktural. Pendekatan dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat bottom-up dengan melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah, kegiatan dakwah struktural ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode. Pertama, tabligh yang mencakup kegiatan khitabah (lisan), kitabah (tulisan) dan I’lam (media). Kedua, irsyad yaitu konseling, proses bimbingan, penyuluhan dan solusi problem psikologi-sosiologis dalam kehidupan yang dihadapi oleh umat. Pendekatan dakwah struktural yakni dakwah yang menjadikan kekuasaan, birokrasi dan kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam, kebalikan dari dakwah kultural dakwah struktural ini bersifat top-down, dakwah struktural dapat menggunakan dua metode yaitu tamkin (pengembangan masyarakat Islam) dan tadbir (manajemen dakwah) (Sukayat, 2015 : 37).

Maka pendekatan dakwah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendekatan dakwah kultural yakni tabligh, yang di dalamnya membahas mengenai cara menyampaikan dakwah menggunakan berbagai media salah satunya dengan media cetak/buku yaitu pada penelitian ini Buku Islam Agama Ramah Perempuan karya KH. Husein Muhammad.

Menurut Tata taufik, dakwah bil kitabah masuk kedalam kriteria media komunikasi massa. Sekurang-kurangnya terdapat tiga media komunikasi massa yang menjadi bagian dari dakwah bil kitabah, yakni: 1) Buku. Buku merupakan sejumlah pesan tertulis . yang memungkinkan memuat banyak pesan dan memiliki arti bagi masyarakat luas, direncanakan untuk pengetahuan publik tentang sesuatu serta direkam dalam bahan yang tidak mudah rusak dan mudah dibawa. 2) Surat kabar. Penulis dapat menuliskan kolom Islami dalam sebuah surat kabar. 3) Majalah, merupakan cetakan sejumlah kumpulan teks seperti cerita, puisi, kadang berisi ilustrasi, serta diproduksi secara regular antara waktu tertentu selain surat kabar (Taufik, 2012: 57-66).

Bagian pertama buku ini menjelaskan gagasan Husein Muhammad mengenai (salah satu) akar permasalahan yang membuat perempuan menderita dengan segala bentuk ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat Islam sendiri, khususnya di Indonesia. Pada bagian ini, Husein Muhammad menjelaskan relasi antara tauhid, syariah, agama, fiqh, bahkan fiqh perempuan. Ia berangkat dari realitas yang mengatakan bahwa pesan-pesan tauhid yang terkandung dalam Al-Qur’an tidaklah diturunkan dalam kondisi hampa budaya. Sebaliknya, wahyu Allah SWT. Turun dalam sebuah kebudayaan yang seringkali diartikan sebagai makna yang tidak ramah terhadap perempuan. Di sisi lain, ajaran-ajaran Al-Qur’an dan teladan Nabi Muhammad SAW. Disampaikan kepada komunitas yang masih sangat bersahaja. Menurut Husein Muhammad, Al-Qur’an bersikap realistis bahwa kebiasaan dan tata cara hidup mereka yang tidak menghargai perempuan tidak mungkin dapat direkonstruksi begitu saja tanpa proses-proses tradisional dan perubahan-perubahan secara gradual dan evolutif. (Muhammad, 2021).

Upaya melakukan proses transformasi kultural secara gradual ini, Husein Muhammad tidak hanya berkenaan dengan relasi gender, tetapi merupakan pola umum semangat transformasi dalam Al-Qur’an. Husein Muhammad mencontohkan bahwa Al-Qur’an berpendirian sama dalam hal perbudakan, minuman keras, serta riba. Hal ini dikarenakan keyakinan qur’ani bahwa gagasan kesetaraan manusia, sebagaimana yang menjadi kehendak ajaran-ajaran tauhid tidak dapat direalisasikan melalui cara-cara konfrontatif dan revolusioner karena pasti akan berhadapan dengan sebuah tradisi dan nilai- nilai kultural yang mapan, bahkan sudah menjadi “agama” (Wawancara 01- 08-2023). Selaras dengan pernyataan bahwa Dakwah bil Kitabah merupakan senjata dalam melawan serbuan pemikiran (Al-Ghazwhul Fikr) pihak-pihak yang hendak merusak akidah, pemikiran, dan perilaku Islami umat Islam melalui media massa (Romli, 2003: 23).

Selaras dengan teori bahwa kitabah dalam dakwah adalah kegiatan menulis atau mencatat yang dilakukan oleh da’i sebagai upaya menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Dalam konteks dakwah, kitabah sangat penting karena dapat memperluas jangkauan pesan-pesan agama dan menjaga kesinambungan pengetahuan. Dalam konteks ini, kitabah adalah upaya mendokumentasikan dan menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada khalayak luas. Adapun fungsi kitabah diantaranya ialah: (1) mencatat perkembangan ilmu pengetahuan agama dan (2) menyebarkan ajaran Islam secara luas (Zaenuri, 2013).

Husein Muhammad juga menekankan bahwa aspek lain dari metodologi transformasi yang dilakukan oleh teks-teks Al-Quran dan hadits memang selalu mengandung aspek-aspek logika rasional. Dalam pendirian beliau dimaksudkan untuk memberikan peluang yang luas bagi upaya-upaya transformasi lebih lanjut, sejalan dengan perubahan-perubahan sosial dan kultural yang menyertainya. Karenanya, Husein Muhammad menyeru pembacanya untuk tidak membaca teks-teks keagamaan dengan pemahaman masa lalu berikut nuansa-nuansa kultural, struktur sosial dan logikanya (Wawancara 01-08-2023).

Bagian kedua dalam buku ini dapat dilihat sebagai manifesto perlawanan Husein Muhammad dan karena itu dipilih sub-judul “Jihad Perempuan” untuk bagian tersebut. Dengan sangat jernih, ia menjelaskan adanya pergeseran makna jihad yang semakin eksklusif berarti perang. Hal ini berjalan beriringan dengan semakin dipinggirkannya perempuan dari wilayah publik bahkan juga penyempitan wilayah privatnya. Konsep jihad yang bias laki-laki ini sesungguhnya bahkan tidak memiliki contoh yang memadai pada tradisi umat islam awal. Pandangan yang menyatakan bahwa “jihad” adalah wilayah laki-laki sebenarnya dengan segera terbantahkan oleh fakta sejarah perang pada masa Nabi Muhammad SAW. di mana sejumlah perempuan ikut berperang bersama beliau dengan memanggul senjata bahkan hingga terbunuh (Wawancara 01-08-2023).

Menurut Husein Muhammad keterlibatan maupun ketidakterlibatannya perempuan dalam jihad dan dalam wilayah politik lainnya sebenarnya bukanlah sesuatu yang esensial, akan tetapi lebih pada fungsi kemaslahatan yang didasarkan atas konteks sosial yang melahirkan keputusan-keputusan tersebut. oleh karena itu, keberadaan perempuan di ruang publik yang bisa memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia (Wawancara 01-08- 2023).

Berbagai masalah yang dihadapi perempuan di ranah privat dapat ditemukan pada bagian ketiga dalam buku ini. Berturut-turut bagian tersebut membuat pendirian. Husein Muhammad dalam masalah-masalah fitnah perempuan, jilbab, kekerasan terhadap perempuan serta tafsir atasnya, kesehatan dan hak-hak reproduksi, aborsi dan problematika remaja. Keseluruhan tulisan itu menunjukkan betapa luas dan beratnya permasalahan yang dihadapi oleh perempuan muslim Indonesia. Dalam seluruh tulisan itu, Husein Muhammad selalu keluar dengan kesimpulan yang diantaranya sangat tidak populer dalam kacamata ulama fiqh konservatif.

Husein Muhammad berargumen bahwa pada tradisi masyarakat Arab saat itu perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki, bahkan status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Kesimpulannya menurut Husein Muhammad, jilbab merupakan ciri pembeda perempuan merdeka dengan perempuan budak, sementara perempuan budak tidak lagi dijumpai maka pemakaiannya pada saat ini rasanya tidak menjadi keharusan lagi. Walaupun demikian, larangan penggunaannya juga harus ditentang (Muhammad, 2021).

Kesimpulan yang juga bertentangan dengan kebanyakan penafsir klasik ditunjukkan oleh Husein Muhammad, ketika mengartikan wadribuhumma yang masih banyak diyakini sebagai pembolehan pemukulan terhadap istri yang menantang suaminya. Dengan memaparkan berbagai analisis terhadap akar kata dharaba, Husein Muhammad menyatakan bahwa sesungguhnya banyak kemungkinan untuk mengartikan kata tersebut. Makna “pukullah mereka dengan tangan” sebagaimana yang banyak digunakan oleh ulama-ulama fiqh, menurut Husein Muhammad bukanlah mkana yang tepat karena bertentangan dengan semangat anti-kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana yang bisa ditarik dalam hadits-hadits shahih: “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Aku adalah yang terbaik terhadap istriku” (HR. Tirmidzi); “Sungguh, perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi); serta “jangan kamu pukul hamba-hamba perempuan Allah” (HR. Abu Daud).

Bagian keempat dalam buku ini menunjukan upaya refleksi yang dilakukan oleh Husein Muhammad sebagai aktivis gerakan feminism atau menurut istilah yang digunakan adalah “gerakan pemberdayaan perempuan”. Tiga tulisan dalam bagian tersebut dapat dikatakan meringkas seluruh pandangannya terhadap masalah yang dihadapi kaum perempuan muslim, akar permasalahannya berangkat dari sudut pandang agama, timbangan atas gerakan perempuan sebagai upaya pemecahan masalah-masalah itu, serta fiqih emansipatoris sebagai landasan bagi gerakan itu.

Mengenai fiqih emansipatoris, Husein Muhammad mengungkapkan bahwa pendekatan fiqh berdasarkan emansipasi sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pertanggungjawaban ketauhidan Islam. Afirmasi prinsip ini tidak hanya dapat dipahami sebagai hubungan personal manusia dengan Tuhan yang Maha Absolut, melainkan juga diwujudkan dalam relasi-relasi interaktif di tengah-tengah kehidupan manusia. Pada saat kita menyebut dan meyakini bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemegang otoritas mutlak atas alam semesta, maka pada saat yang sama seharusnya menjadi keyakinan kita pula bahwa ciptaan Tuhan sama dan setara terlepas dari simbol-simbol budaya yang menyertainya. Perbedaan-perbedaan yang diciptakan Tuhan tidak seharusnya menjadi dasar bagi pembedaan-pembedaan (diskriminasi) pada wilayah-wilayah sosial, ekonomi, budaya, politik dan seterusnya (Muhammad, 2021).

Dalam konsep kitabah (penulisan) dapat meliputi beberapa poin, tergantung pada tujuan dan strategi dakwah yang digunakan. Berikut ini adalah beberapa poin yang tercakup dalam kitabah dalam dakwah: (1) Identifikasi dan analisis permasalahan, (2) tujuan dakwah, (3) pemilihan tema dan isu, (4) penyampaian ajaran agama, (5) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, (6) pendekatan rasional dan emosional, (7) solusi dan tindakan konkret, (8) penggunaan sumber yang terpercaya, dan (8) menghindari kontroversi dan pemecah belah (AS, 1997).

Pada buku Islam Agama Ramah Perempuan mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam masyarakat, terutama terkait dengan ketimpangan gender dan diskriminasi. Salah satu tujuan dakwah buku ini adalah untuk menyampaikan pesan bahwa Islam menghormati dan memuliakan perempuan serta mendorong kesetaraan gender. Kemudian buku ini memilih tema kesetaraan gender dan isu-isu yang relevan dengan perempuan dalam Islam sebagai fokus utama dalam dakwahnya dengan menyampaikan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam penggunaan bahasa, buku ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami untuk menyampaikan pesan-pesan tentang kesetaraan gender dalam Islam agar dapat dijangkau oleh berbagai kalangan.

Selanjutnya, buku ini mengambil pendekatan rasional dan emosional dalam menyampaikan pesan-pesan tentang kesetaraan gender untuk mempengaruhi pemikiran dan perasaan pembaca. Buku ini memberikan solusi dan tindakan konkret untuk mengatasi ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat. Buku ini menggunakan sumber-sumber yang terpercaya dalam menyampaikan argumen-argumennya tentang kesetaraan gender dalam Islam yaitu Al-Quran dan hadis. Selain itu, buku ini berusaha menghindari kontroversi dan pemecah belah dalam menyampaikan pesan-pesannya tentang kesetaraan gender, dengan tetap menjaga akurasi dan kebenaran informasi yang disampaikan.

Pandangan Kesetaraan Gender Menurut Husein Muhammad

Pandangan Husein Muhammad tentang kesetaraan gender didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang menghormati dan memuliakan perempuan. Beliau menekankan pentingnya memberikan perlakuan yang adil dan setara terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan, sejalan dengan ajaran agama yang menekankan kesetaraan di antara semua manusia tanpa memandang jenis kelamin. Husein Muhammad juga menyoroti perlunya menghilangkan stereotip dan diskriminasi gender yang masih ada dalam masyarakat, serta memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik secara merata.

Pertama, kesetaraan posisi. Manusia mewarisi perilaku kolektif yang dibentuk lewat sistem nilai, tradisi, norma sosial yang terjalin dengan ajaran agama. Perilaku kolektif tersebut diwariskan dan tertanam di alam bawah sadar hingga merefleksikan perilaku manusia secara kolektif. Seperti halnya realitas sosial budaya yang memperlihatkan relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, timpang, tidak setara dan diskriminatif yang kemudian disebut ketidakadilan gender. “Perempuan itu manusia, sebagaimana laki-laki. Karena itu, Perempuan dan laki-laki diberikan potensi yang sama. Mempunyai akal intelektual, mempunyai Hasrat seksual, mempunyai mental spiritual, mempunyai tenaga. Semuanya itu relatif, ada Perempuan yang kuat, ada laki-laki yang kuat. Ada laki-laki yang pintar, ada juga Perempuan yang lebih pintar” (Wawancara 01-08-2023)

Kesetaraan gender adalah posisi laki- laki dan perempuan yang setara dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam aktivitas kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun masyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut ia mengatakan konsep gender adalah hal yang dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan dan dapat berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya (Mufidah, 2003: 4-6).

Husein Muhammad menegaskan bahwa manusia bukan hanya sekadar tubuh yang dapat dieksploitasi. Manusia memiliki potensi jiwa dan ruh. Perbedaan tubuh seperti laki-laki mempunyai penis, tanpa rahim dsb. Sedangkan perempuan memiliki rahim, vagina, payudara itu semua disebut perbedaan biologis. Perbedaan biologis tersebut oleh Husein Muhammad disebut kodrat, yang tidak bisa diciptakan manusia. Sedangkan potensi ruh seperti psikis, intelektualitas, hasrat seksual dsb itu relatif sama. Potensi intelektualitas manusia misalnya, laki-laki yang mempunyai akal lebih cerdas dari perempuan, ada perempuan yang mempunyai akal lebih cerdas dari laki-laki, ataupun ada laki-laki dan perempuan mempunyai kecerdasan yang sama. Menurut Beliau, perbedaan tersebut tergantung bagaimana kita mengembangkan potensi- potensi yang sudah ada. Inilah yang kemudian oleh beliau disebut gender (Wawancara 01-08-2023).

Husein Muhammad menolak akan adanya diskriminasi terhadap manusia, termasuk perempuan. Islam merupakan ajaran tauhid, yang bermakna keesaan. Makna tauhid secara luas menolak penghambaan kepada selain Allah, pemilik otoritas yang Absolut adalah Allah SWT. Beliau menulis. “Menyatakan bahwa Tuhan (Allah SWT) adalah satu bukanlah sekadar pernyataan verbal individual semata, melainkan seruan untuk menjadikan keesaan itu sebagai basis utama pembentukan tatanan sosial-politik-kebudayaan.” (Muhammad, 2021)

Prinsip kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai tauhid ini yang melandasi Husein Muhammad dalam mengusung gagasan pembebasan manusia atas segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan penindasan manusia dengan segala dasar apa pun. Gagasan teologis ini menurut Husein Muhammad, menempatkan kesetaraan manusia secara Husein Muhammad menggunakan pandangan dasar agama yaitu argumentasi teks agama (Al-Qur’an maupun hadits). Ayat Al-Qur’an yang dikutip salah satunya adalah surat al-Hujurat [49]: 13 yang menurutnya merupakan gagasan fundamental kesetaraan manusia. (Muhammad, 2021).

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-bersuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (RI, 2007).

Kata “takwa” menurut Husein Muhammad mengandung makna kesetaraan manusia di hadapan hukum-hukum Tuhan. Lebih lanjut beliau mengatakan takwa harus dimanifestasikan dalam sikap-sikap sosial. Beliau juga mengutip banyak hadis yang menyatakan kesetaraan diantaranya. “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Dengan demikian baik laki-laki dan perempuan berada dalam posisi yang setara, oleh karenanya memiliki hak yang sama dalam memperoleh keadilan. (Wawancara 01-08-2023) Maka diskriminasi yang berlandaskan pada jenis kelamin, warna kulit, kelas, ras, suku, agama dan sebagainya menurut beliau tidak memiliki dasar pijakan dalam ajaran tauhid (Muhammad, 2021).

Perempuan sebagai manusia adalah bebas, mandiri, dan dalam posisi yang adil. Keadilan dalam konteks ini tidak tentang tubuh, tetapi soal nilai, substansi, dan kualitas. Menurut Husein Muhammad ada beberapa kemungkinan penyebab terjadi perspektif diskriminatif atau subordinatif terhadap perempuan terjadi dalam wacana pemikiran keagamaan diantaranya kekeliruan dalam menginterpretasikan teks, penafsiran yang dilakukan secara partikulatif atau sebuah penafsiran yang tidak utuh dan karena didasarkan pada hadits-hadits yang lemah dan palsu. Oleh karena itu menurut beliau untuk merespons beberapa tafsir keagamaan yang kerap dijadikan landasan normatif kekerasan dan peminggiran terhadap perempuan tidak ada cara lain kecuali dengan melakukan interpretasi dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan tersebut (Muhammad, 2021).

Perempuan pada hakikatnya memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam. (Juwita, 2018: 188) Mereka merupakan makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT, dengan segala kelebihannya. Antara pria dan wanita, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi. Perbedaannya ada pada fungsi dan tugas yang dibebankan kepada masing-masing dari mereka.

Husein Muhammad mengutip Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama bermazhab Hanbali yang menyatakan bahwa di mana saja keadilan ditemukan maka ada hukum Allah SWT. Jadi titik tolak tafsir keagamaan baik berupa hukum maupun narasi agama adalah nilai keadilan bagi siapapun, termasuk bagi laki-laki dan perempuan (Muhammad, 2016).

Islam sendiri mengajarkan betapa pentingnya sebuah keadilan. Namun, keadilan yang dimaksud bukan berarti sama, melainkan adil dalam porsinya masing-masing. Wanita merupakan makhluk yang mulia. Di dalam Islam sendiri, Islam tidak pernah membeda-bedakan antara wanita dan pria. Mereka memiliki derajat yang sama serta hak dan kewajiban masing-masing. Seorang pria layaknya seorang wanita juga sama memiliki hukum dan batasan-batasan dalam menjalankan sesuatu (Mubarokah, 2021: 30).

Kedua, perempuan dalam fiqh. Gagasan-gagasan Husein banyak tertuang di dalam karya-karyanya. Gagasan beliau selalu berakar dari ajaran agama Islam, terutama tradisi keilmuan klasik (kitab kuning) yang dimiliki pesantren. Menurut beliau dalam kitab tersebut banyak menunjukkan argumentasi yang menjunjung penghargaan manusia, menghargai perbedaan, menjunjung hak-hak orang lain. Maka dari sini beliau mengatakan kebutuhan paling besar dari pemahaman keagamaan yang berpihak pada hak asasi manusia dan demokrasi adalah kontekstualisasi teks-teks klasik.

Husein Muhammad menegaskan pemahaman atas konteks adalah niscaya. Tanpa hal ini tidak akan dapat memahami Al-Qur’an secara komprehensif dan akan kehilangan relevansinya. (Muhammad, 2016). Nilai-nilai dasar Islam, yaitu keadilan, kesetaraan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, menurut Husein Muhammad dapat dilihat pada konsep tauhid. Lebih lanjut beliau menjelaskan, alasannya karena tauhid dalam sejarah agama-agama telah hadir di tengah runtuhnya moralitas baik individu maupun sosial. Keruntuhan moralitas ini ditandai dengan menurunnya penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan (Muhammad, 2021).

Pandangan Imam Syathibi tentang kesetaraan manusia bersifat pasti, tetap dan berlaku universal yang menarik hati Husein Muhammad dan meyakini bahwa pesan-pesan agama yang tertulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung tujuan dan ruh kemanusiaan. Menurut beliau kesetaraan gender adalah konsekuensi paling bertanggung jawab atas pengakuan keesaan Tuhan. Maka atas dasar ini keadilan gender harus ditegakkan (Muhammad, 2016).

Husein Muhammad dalam setiap gagasannya berupaya untuk bersikap adil dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Budaya patriarki yang mensubordinasi bahkan mendiskriminasi perempuan selalu dikritik beliau melalui gagasan-gagasannya. Gagasan tersebut bukan berarti menunjukkan beliau setuju penerapan ideologi patriarki, karena yang diharapkan adalah terwujudnya hubungan yang menjunjung hak asasi manusia yang adil bagi semua pihak. Dalam mengambil kesimpulan atas hasil pemikiran, Husein Muhammad menggunakan metode yang beragam. Beliau selalu mencari landasan permasalahan di Al-Qur’an dan hadits.

Al-Qur’an adalah kitab suci dalam agama Islam dan menjadi sumber utama ajaran Islam. Al-Quran memberikan pengakuan terhadap martabat dan hak-hak perempuan. Misalnya, dalam Al-Quran Surah An-Nisa ayat 4 disebutkan bahwa perempuan memiliki hak-hak mereka sendiri dalam perkawinan. Juga dalam banyak ayat lain, Al-Qur’an menggarisbawahi kesetaraan antara pria dan perempuan dalam pandangan Allah (Mistiani, 2019: 42).

Dalam memahami ayat, Husein Muhammad membandingkan penafsiran para para ulama. Jika ayat tersebut diperjelas dalam hadits atau bahkan memang berlandaskan hadis, beliau akan meneliti kualitas sanad hadis tersebut. Pengambilan keputusan juga diambil dengan meneliti ulang keputusan yang dijabarkan oleh fuqoha’, baik dari metode ushul fiqh, pengaruh sosial hingga relevansi yang mempengaruhi keputusan ulama’ tersebut. “Pertanyaan kapan akan muncul seorang mujaddid tidak lagi relevan untuk dilontarkan. Pertanyaan yang relevan adalah: ‘apa yang harus saya lakukan untuk pembaharuan Islam’ (Muhammad H, 2020).

Husein Muhammad memandang, bahwa kehidupan masyarakat sedang berkembang menuju pada tuntutan demokratisasi, keadilan dan penegakan hak asasi manusia. Kini realitas budaya memperlihatkan makin banyak perempuan memiliki kemampuan intelektual bahkan kekuatan fisik yang relatif mengungguli laki-laki. Hal tersebut karena budaya memberi peluang bagi siapapun untuk mengaktualisasi potensi yang dimiliki. Husein Muhammad membagi peran perempuan menjadi dua, yakni secara biologis dan gender (Muhammad, 2021). Hal ini dapat dilihat dari beberapa gagasan-gagasan beliau (1) peran perempuan dalam ruang lingkup domestik (2) peran perempuan dalam ruang lingkup publik.

Ketiga, sumber daya manusia yang unggul. Perjuangan perempuan-perempuan masa lalu masih belum berhenti hingga saat ini. Kondisi kualitas hidup perempuan di Indonesia belum sepenuhnya menggembirakan, sebab masih terjadi kesenjangan kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki, khususnya dalam aspek-aspek penting kehidupan manusia, yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Agustina Erni menuturkan suara perempuan diperlukan pada posisi-posisi penting mengambil keputusan supaya keputusan dan kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak kepada perempuan dan anak sehingga dapat menghapuskan kesenjangan kualitas hidup perempuan dan laki-laki. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul tentu bukan perkara yang mudah. Keberhasilan Indonesia mempersiapkan generasi bertalenta yang berhati Indonesia dan berideologi Pancasila untuk Indonesia maju membutuhkan keterlibatan seluruh rakyat Indonesia (Kemenppa, 2021).

SDM berkualitas harus dipersiapkan sejak dini. Salah satu proses penting untuk menghasilkan SDM unggul adalah memastikan setiap bayi yang lahir adalah dari seorang ibu yang sehat secara fisik, mental, dan sosial. Harapannya, bayi tersebut terbebas dari stunting dan ketika tumbuh, mereka terpenuhi hak-haknya dan terbebas dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. (Wawancara 01-08-2023)

Namun, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016, 1 dari 3 atau 33,33 % (prevalensi) atau sekitar 33,2 juta perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik/seksual dan 1 dari 10 perempuan di usia tersebut mengalami kekerasan di 12 bulan terakhir. Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 mencatat 2 dari 3 anak-anak atau 66,67 % (prevalensi) anak-anak atau sekitar 53,06 juta anak-anak dan remaja perempuan atau laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Kekerasan yang dialami oleh anak dan remaja cenderung tidak berdiri sendiri tetapi bersifat tumpang tindih di antara jenis kekerasan, mencakup kekerasan fisik, emosional, dan seksual (Kemenpppa, 2021).

“Perempuan adalah ibu manusia” adalah ungkapan yang menjadi kunci keberhasilan pembentukan SDM akan unggul atau tidak. Sedangkan, perempuan dibentuk berdasarkan lingkungan. Apabila kita menyiapkan kaum Perempuan dengan baik, maka kita menyiapkan generasi yang baik. Ketika perempuan mendapatkan akses kesehatan yang memadai, maka generasi yang terlahir akan sehat, ketika perempuan mendapatkan akses pendidikan yang baik, maka generasi yang terlahir akan menjadi generasi yang pintar. Maka dengan kita memperhatikan perempuan.

Hal ini mengindikasikan masih banyak isu gender dalam pembangunan dan tingkat pemahaman masyarakat tentang hak perempuan dan anak, terutama hak untuk terbebas dari kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi belum optimal. Oleh karena itu, seluruh pihak haru melakukan berbagai upaya guna mewujudkan kesetaraan gender sehingga perempuan Indonesia sehat secara fisik, mental, sosial, dan terbebas dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi; dan memastikan anak-anak Indonesia terlindungi dan terpenuhi haknya sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi SDM unggul (Kemenpppa, 2021).

Perempuan memiliki fungsi utama yang sangat berkaitan dengan kedudukan dan perannya, yaitu fungsi produksi dan fungsi reproduksi. Fungsi produksi berkaitan dengan aspek ekonomis, di mana tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan perempuan untuk menjadi pelaku pembangunan sesuai minat dan kemampuan mereka sebagai faktor produksi. Sementara itu, fungsi reproduksi terdiri dari fungsi kodrati, seperti melahirkan dan menyusui, serta fungsi reproduksi nonkodrati, seperti mendidik, mengasuh, dan membimbing anak-anak (Mustar, 2007: 148-149).

Keempat, sehat fisik dan mental. Sehat fisik dan mental penting bagi perempuan untuk menciptakan kesetaraan gender. Dengan kesehatan fisik yang baik, perempuan dapat memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, karir, dan kepemimpinan. Kesehatan mental yang optimal juga membantu mengatasi tekanan dan stereotip gender, memungkinkan perempuan untuk mengambil keputusan berdasarkan potensi dan keinginan pribadi. Selain itu, kesehatan yang baik juga berkontribusi pada kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan upaya untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental, perempuan dapat lebih berdaya dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan kesetaraan gender.

Perempuan di seluruh dunia memiliki hak yang setara dalam hal menjadi warga negara yang diakui. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh penghidupan yang layak, yang merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai kesejahteraan psikologis (Diener dan Richard dalam Suwijik, 2022: 155). Berkembangnya kualitas hidup perempuan diperoleh dari perbaikan kondisi fisik dan mental. Hal ini sejalan dengan pemenuhan hak dan kebutuhan hidupnya dari berbagai bidang pembangunan, terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, hukum, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Besarnya pendapatan berkaitan erat dengan peningkatan kualitas hidup, baik secara langsung maupun tidak. Individu dengan kepuasan yang besar terhadap diri sendiri lebih mampu bekerja sama dan lebih efisien (Marretih, 2013: 29).

Kelima, mandiri secara ekonomi. Kemandirian ekonomi adalah salah satu faktor kunci dalam mencapai kesetaraan gender. Ketika perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal ekonomi, mereka dapat mengatasi ketimpangan dan mencapai potensi penuh mereka.

Berikut adalah beberapa cara untuk mencapai kesetaraan gender melalui kemandirian ekonomi antara lain: (1) pendidikan dan pelatihan, (2) akses ke pembiayaan, (3) penghapusan diskriminasi dan norma budaya, (4) kebijakan dan perlindungan sosial, (5) akses ke pasar, (6) kewirausahaan perempuan, (7) kesetaraan gaji dan peluang karir, dan (8) kesadaran dan pendidikan.

Keenam, akses pendidikan yang memadai. Akses pendidikan yang memadai sangat penting dalam mencapai kesetaraan gender. Berikut adalah beberapa cara akses pendidikan yang memadai dapat berkontribusi pada kesetaraan gender: (1) mengatasi kesenjangan akses, (2) pendidikan sejak dini, (3) pendidikan non-formal dan keterampilan, (4) mendorong partisipasi perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika), (5) mengatasi isu khusus, (6) mengatasi hambatan sosial dan budaya, (6) mengatasi ketimpangan di dalam institusi pendidikan.

Akses pendidikan yang memadai adalah fondasi utama dalam mencapai kesetaraan gender. Memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan mencapai potensi penuh mereka akan membawa manfaat besar bagi masyarakat dan memperkuat kesetaraan gender secara keseluruhan.

Pendidikan merupakan kunci utama bagi terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena pendidikan di samping merupakan alat mentransformasi norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru (Sa’diyah, 2008: 327).

Untuk mengarah terwujudnya hal tersebut menurut Muchlis Solichin, (2006: 58) maka diperlukan : a. Memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan perbedaan pada peserta didik; b. Mengupayakan keadilan di kalangan pimpinan; c. Meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan. Menurut hemat penulis alangkah baiknya apabila yang diajarkan di sekolah, memadukan atau mengintegrasikan antara materi yang bersifat umum (sain, matematika, IPS, PKN, dll.) dengan materi agama, di dalamnya mencakup adanya nilai, moral, norma, dan akhlak.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian peneliti tentang kitabah KH. Husein Muhammad tentang kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa dalam perjuangan kesetaraan gender, pemikiran KH. Husein Muhammad berlandaskan penghargaan hak asasi manusia (HAM). Hal yang menjadi dasar hak asasi manusia sekaligus sebagai inti ajaran Islam itu sendiri, yakni kesetaraan. Kesetaraan menegaskan bahwa kedudukan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai makhluk Tuhan adalah sama di hadapan-Nya.

Cara atau usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender menurut KH. Husein Muhammad dilakukakan dengan memberikan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh; kesetaraan posisi, akses kesehatan yang baik, fasilitas pendidikan yang memadai agar perempuan dan laki-laki sejahtera secara ekonomi, SDM, kesehatan serta pendidikan dengan harapan terwujudnya agama Islam yang benar-benar ramah terhadap perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H. H., Maulana, A. S., & Sartika, M. (2018). Kewenangan dan kedudukan perempuan dalam perspektif gender: suatu analisis tinjauan historis. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender, 17(1), 42-62

Fakih, M. (1996). Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender. Surabaya: Risalah Gusti.

Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Juwita, D. R. (2018). Pandangan hukum islam terhadap wanita karir. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 6(2), 175–191.

Kemenpppa RI. (2021). Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diakses 12 Mei 2022m, dari https://kemenpppa.go.id

Kusnawan, A. (2016). Teknik Menulis Dakwah. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

Marettih, A. K. E. (2013). “Work-Family Conflict pada Ibu Bekerja (Studi Fenomenologi dalam Prespektif Gender dan Kesehatan Mental. Sosial Budaya., 10 (1), 27-37.

Mistiani, W. (2019). Kedudukan Perempuan Dalam Al-Quran Dan Hadis. Musawa: Journal for Gender Studies, 11(1), 34-65.

Mubarokah, L. (2021). Wanita dalam Islam. Journal of Islamic Studies and Humanities, 6(1), 23-31.

Mufidah Ch. (2003). Paradigma Gender. Malang: Bayumedia.

Muhammad, H. (2014). Islam dan Pendidikan Perempuan. Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 231-244.

Muhammad, H. (2016). Perempuan, Islam dan Negara; Pergulatan Identitas dan Entitas. Yogyakarta: Qalam Nusantara.

Muhammad, H. (2020). Menuju Fiqh Baru. Yogyakarta: IRCiSoD.

Muhammad, H. (2021). Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: IRCiSoD.

Muhammad, H. (2021). Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Mustar, E. E. (2007). Sumber Daya Manusia Perempuan Indonesia. Populasi, 18(2), 147-166.

Romli, A.S. (2003). Jurnalistik Dakwah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sa’diyah, D. (2008). Isu Perempuan(Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam Kesetaraan Gender). Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 4(12), 305-334.

Sukayat, T. (2015). Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Mabadi. 'Asyarah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Suwijik, S. P., & A'yun, Q. (2022). Pengaruh Kesehatan Mental dalam Upaya Memperbaiki dan Mengoptimalkan Kualitas Hidup Perempuan. Journal of Feminism and Gender Studies, 2(2), 109-123.

Taufik,T. (2012). Etika Komunikasi Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.

Umar, N. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.




DOI: https://doi.org/10.15575/tabligh.v6i4.35639

Refbacks

  • There are currently no refbacks.